Jumat, 10 Juli 2009

ACARA KEGEMARAN SI KECIL

Tak masalah, kok, Bu-Pak. Asalkan acaranya memang diperuntukkan anak-anak seusianya dan kita pun mendampinginya menonton.
Namun kegemaran si kecil pada acara tertentu berbeda dengan orang dewasa. "Jika pada orang dewasa karena tema acaranya, maka pada anak karena dia melihat ada sesuatu yang akrab dengan kehidupannya sehari-hari," jelas dra. Nisfi M. Salanto.

Di bawah ini sejumlah dampak yang berkaitan dengan acara favorit si kecil sebagaimana dipaparkan psikolog yang menjadi mitra kerja di Divisi Klinik & Layanan Masyarakat LPT-UI ini.
* Film Kartun
Acara ini bisa mengakibatkan rasa empati si kecil berkurang, mengingat tak sedikit adegan kekerasan yang ditampilkan. Misal, karena sering menonton Tom & Jerry, si kecil bisa saja mendapat kesan bahwa bila seseorang dipukul tak akan merasa sakit. Bukankah setiap Tom memukul Jerry sampai benjol pun nanti bisa cepat hilang? Jadi ketika ia memukul teman dan si teman kesakitan, ia malah merasakannya sebagai hal lucu, "Ha...ha...ha... seperti di TV."
Pendek kata, hati nurani si kecil tak terasah karena ia merasa, toh, kalau temannya sakit, nanti juga cepat sembuh. Jadi, bila si kecil amat senang nonton film kartun, beri pengertian padanya bahwa kejadian yang ada di film tak sama dalam kehidupan sehari-hari, "Kalau Adik memukul teman, dia bisa pusing atau berdarah. Kalau berdarah, nanti teman Adik bisa infeksi. Kasihan, kan?"
* Film Action
Yang ini lebih parah dampaknya dibanding film kartun, karena yang berperan di sini adalah manusia nyata. Bila si kecil melihat seorang tokoh ditusuk pisau lalu berdarah, bukan tak mungkin ia akan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kala bermain dengan temannya dan melihat pisau, ia bisa tiba-tiba mencontoh adegan tersebut.
* Sinetron dan Telenovela
Meski si kecil kerap menyaksikan sinetron/telenovela yang diperuntukkan konsumsi dewasa, tak akan membuatnya jadi cepat dewasa atau matang sebelum waktunya. Biasanya ia akan mencontoh adegan yang dilihatnya. Misal, ia melihat adegan seorang anak menangis lalu dibujuk dengan diberi mainan. Ia pun akan mengkaitkan hal itu dalam kehidupannya, "Berarti kalau aku menangis, aku juga harus dibeliin mainan."
Justru yang jadi masalah ketika harus menjawab pertanyaan si kecil. Kita, kan, tak bisa menerangkan bila si suami di sinetron itu marah pada istrinya karena si istri selingkuh, misal. Untuk menjawabnya, kaitkan saja dengan kejadian sehari-hari yang bisa diterima anak. Tentu dengan bahasa yang bisa dipahami anak. Misal, "Tante itu dimarahi bapaknya karena mungkin tadi ia mengambil kue enggak bilang-bilang."
* Film Horor
Biasanya anak menyukai jenis film ini karena ada suatu reward yang ia dapat ketika menyaksikannya bersama anggota keluarga. Misal, setiap Nenek Lampir muncul, ia akan dipeluk oleh ibunya. Jadi, bukan filmnya yang membuat ia senang, melainkan pelukan itu yang dinanti-nantikannya.
Namun dampaknya, ia akan ketakutan hingga tak mau atau susah tidur karena takut didatangi Nenek Lampir, misal. Ia pun tumbuh jadi penakut. Ini bisa mengganggu pergaulannya, lo. Misal, tiap diajak teman ke tempat yang banyak pohon atau gelap sedikit, ia akan menolak karena ingat akan setting film horor yang sering dilihatnya.
* Iklan
Hati-hati, si kecil bisa berperilaku konsumtif. Biasanya anak lebih kerap jadi "korban" iklan produk makanan. Padahal, 90 persen produk makanan yang diiklankan itu tak bergizi. Untuk mengatasinya, tanamkan pengertian dalam diri si kecil.
Misal, "Mungkin ayam yang di situ kelihatan enak, tapi kita coba bikin sendiri, ya. Ibu tahu, kok, resepnya. Dengan uang yang sama kita malah bisa makan lebih banyak."
Bangun pula kebiasaan makan yang baik dan perhatikan pentingnya asupan dari sumber-sumber alam yang kaya akan zat-zat gizi yang dibutuhkan anak, semisal sayur-sayuran dan buah-buahan. Bila perlu, kemukakan saja dampak MSG dalam aneka makanan yang diiklankan tadi. Namun cara menjelaskannya jangan sampai terkesan menakut-nakuti anak.
IMAJINASI TAK BERKEMBANG
Perlu dipahami, anak batita belum bisa membedakan realitas dan fantasi, hingga semua informasi yang didapatnya langsung diserap bulat-bulat sebagai suatu kebenaran. Di samping, ia pun sama sekali tak memahami pembuatan adegan-adegan tersebut dengan berbagai "tipuan". Apalagi jika anak menontonnya tanpa pendampingan orang tua. Makanya, tak heran bila ada kejadian seorang anak meloncat dari gedung tinggi gara-gara melihat tokoh di film kesayangannya tidak tewas setelah melakukan hal tersebut.
Dampak lain, pengaruh buruk terhadap perkembangan bahasa anak. "Pada usia 0 sampai 4 tahun, otak sedang giat-giatnya bekerja, hingga taraf menangkap informasi pada anak pun jadi sedemikian tinggi." Jadi, bila si kecil selalu mendengar kata-kata kurang sopan dari acara favorit yang ditontonnya, berarti mayoritas atau bahkan seluruh kata itu akan terekam dalam otaknya. Di kemudian hari, kala ia sudah lancar bicara, kata-kata tak sopan itu akan meluncur dengan sendirinya.
Untuk jangka panjang, dampak buruknya terutama berkaitan dengan prestasi akademikya. "Dengan duduk diam menyaksikan acara di TV, anak sudah terpola oleh suguhan visual dan alur cerita yang menarik." Artinya, segala sesuatu mengenai tokoh cerita, bahkan perkembangan imajinasinya sendiri sudah disetir sedemikian rupa oleh TV. Jadi, imajinasinya tak berkembang sendiri secara proporsional.
Akibatnya, ia tak terbiasa aktif dalam menangkap apa yang disajikan kepadanya. Padahal, saat masuk "sekolah" dibutuhkan daya tangkap yang baik mengenai segala hal yang dilihat dan dialaminya. Itu sebab, besar kemungkinan ia pun jadi tak terbiasa menaruh perhatian pada guru maupun apa yang diterangkan guru. Baginya, sosok guru tidaklah sehebat sosok jagoannya di TV. Sementara materi pelajaran dan cara penyampaiannya dianggap tak menarik karena tak bergerak atau "hidup", kalah seru dan tak berwarna alias datar-datar saja dibanding acara kesayangannya di TV.
Jika dampak buruk ini tak segera diminimalisir atau bila sudah terlanjur mendarah daging, sedikit banyak akan mempengaruhi perilakunya. Misal, ia tumbuh jadi anak yang agresif dan kaya akan kata-kata kotor/kasar. Ia pun bisa terbentuk menjadi anak cuek alias kurang menaruh peduli pada orang lain; bila dipanggil enggak nyahut, ogah mendengarkan omongan kita atau bila diajak bicara matanya jelalatan entah ke mana. Penyebabnya apalagi kalau bukan lantaran ia tak terbiasa berkomunikasi dua arah dan menatap lawan bicara. Selain karena seluruh waktunya selama ini hanya terpuaskan untuk menikmati kejadian yang sifatnya satu arah.
DAMPINGI ANAK
Itulah mengapa, kita harus selalu mendampingi si kecil kala ia menonton acara kegemarannya maupun tayangan lain di TV. "Namun mendampinginya bukan sebatas ada bersama tapi sibuk dengan urusan masing-masing, lo!" tegas Nisfi. Melainkan, kita harus berusaha keras melibatkan anak dalam tayangan yang tengah ditontonnya.
Misal, si kecil suka nontonTeletubbies. Nah, ajak ia mengulangi kata-kata yang "diajarkan" di situ. Terangkan pula nilai-nilai moral yang hendak disampaikan, seperti kerukunan saat bermain bersama. Kemudian, bila si kecil rewel kala ada selingan iklan, kita bisa katakan, "Teletubbies-nya, kan, butuh istirahat. Mereka capek, lo, habis main-main di lapangan. Sekarang, Mama dan Adek istirahat juga, dong." Dengan begitu, si kecil pun belajar bahwa ia tak bisa selalu memperoleh apa yang diinginkannya.
Manfaat lain, imajinasi si kecil akan terlatih karena ia merasa ikut terlibat dalam acara tersebut. Selain telinga dan hatinya tak terus-menerus kosong karena komunikasi dan kedekatan emosinal tetap terjalin.
DISIPLIN DAN KONSISTEN
Selain pendampingan, Nisfi pun menganjurkan kita agar memanfaatkan resume acara sebelum membolehkan si kecil menonton acara tertentu. Hingga, kita pun bisa menentukan acara mana yang boleh dan tak boleh ditonton si kecil.
Kemudian, disiplinkan seluruh anggota keluarga. "Jangan pernah ijinkan siapa pun sepanjang hari menikmati tayangan TV tanpa sempat melakukan kegiatan lain secara proporsional." Batasi jam menonton, misal, hanya 1-2 jam di waktu pagi/siang atau 1-2 jam saat sore/malam. Namun dalam memberlakukannya tak perlu dengan disiplin ala militer yang serba kaku sampai menggunakan kekerasan. "Cukup beri tahu atau bangun pengertiannya dengan cara-cara halus." Misal, "Nak, nanti kalau jarum yang pendek sudah ada di angka 7, TV-nya dimatiin, lo." Atau, ingatkan si kecil untuk makan, tidur siang, merapikan mainan, dan lainnya begitu acara favoritnya usai ditayangkan.
Tentu saja, kita harus konsisten. "Bila kita melarang anak menonton acara tertentu, kita pun seyogyanya tak menyaksikan acara tersebut.
Jangan sampai anak protes karena merasa diperlakukan berbeda." Bila kebiasaan ini ditanamkan, menurut Nisfi, tanpa dilarang pun si kecil akan tahu bahwa acara tersebut memang bukan porsinya. Namun bila kita tak konsisten, "jangan harap disiplin akan terbentuk." Malah, bisa jadi si kecil akan memanfaatkan ketidakkonsistenan kita, semisal, "Kalau sama Bunda, aku pasti enggak boleh nonton acara itu. Tapi kalau Bunda pergi, aku, kan, enggak dilarang sama Si Mbak." Itulah mengapa, seluruh anggota keluarga sampai pembantu dan pengasuh pun harus sepakat, acara mana yang boleh ditonton dan tidak.
Bila perlu, tekan Nisfi, orang tua menentukan batasan-batasan tegas dan meminta seluruh anggota keluarga mematuhinya. Termasuk aturan-aturan lain yang berkaitan dengan acara menonton, semisal tak boleh makan sambil nonton. Apalagi bila si kecil sudah "sekolah", kita harus mulai mengajarkannya bertanggung jawab dari hal-hal kecil, misal, kalau mau "sekolah" enggak boleh nonton. Namun jangan lupa, sertai penjelasan konkret yang bisa diterima si kecil mengapa kita memberlakukan aturan tersebut. Misal, supaya enggak terlambat saat mobil jemputan datang.

Faras Handayani . Foto : Rohedi (nakita)

0 komentar:

Cari Artikel

Wikipedia

Hasil penelusuran

Chat Yukkkk...

Pilih Materi IPA

Link Pendidikan

Link Teman

Fenomena Alam

Link Berita

Gerhana Matahari

Hujan Asam

Hujan Asam

Modal Dengkul